Kamis, 06 Januari 2011

Asuhan Keperawatan Hipoglikemia

ASUHAN KEPERAWATAN HIPOGLIKEMIA


Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah
Hipoglikemi murni : ada gejala hipoglikemi, glukosa darah
Reaksi hipoglikemi : gejala hipoglikemi bila gula darah turun mendadak, misalnya dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl
Koma hipoglikemi : koma akibat gula darah
Hipoglikemi reaktif : gejala hipoglikemi yang terjadi 3 – 5 jam sesudah makan.

1. Patofisologi
Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidak mampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen didalam otak orang dewasa, dan ketidak tersediaan keton dalam fase makan atau posabsorbtif.

Puasa / intake kurang
Glikogenolisis
Deficit glikogen pada hepar
Gula darah menurun
Penurunan nutrisi jaringan otak
Respon SSP


Respon Otak Respon Vegetatif
Kortek serebri Pelepasan norepinefrin &
kurang suplai energi ( adrenalin

Kekaburan yang dirasa dikepala Takikardia, pucat, gemetar,
Sulit konsentrasi / berfikir berkeringat
Gemetar
Kepala terasa melayang Tidak sadar
Gangguan proses berfikir Stupor, kejang, koma

2. Manifestasi Klinis
Lapar
Gemetar
Gangguan berpikir dan konsentrasi
Keringat dingin, berdebar
Pusing, gelisah, akhirnya koma

3. Penatalaksanaan
Glukosa darah diarahkan kekadar glukosa puasa : 120 mg/dl
Dengan rumus 3 – 2 – 1

Hipoglikemi:
Pisang / roti / karbohidrat lain, bila gagal
Teh gula, bila gagal tetesi gula kental atau madu dibawah lidah.

Koma hipoglikemi:
Injeksi glukosa 40% iv 25 ml infus glukosa 10%, bila belum sadar dapat diulang setiap ½ jam sampai sadar (maksimum 6 x) bila gagal
Injeksi efedrin bila tidak ada kontra indikasi jantung dll 25 – 50 mg atau injeksi glukagon 1 mg/im, setelah gula darah stabil, infus glukosa 10% dilepas bertahap dengan glukosa 5% stop.

Asuhan Keperawatan Fraktur Cervicalis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR CERVICALIS


1. Pengertian
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).

2. Patofisiologis dikaitkan dengan KDM

1. Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang
a. Jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga


Mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis


Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif
Dan dislokasi, sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar,
Kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan
Peredaran darah


1) Blok syaraf parasimpatis pelepasan mediator kimia kelumpuhan

Kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi

Iskemia dan hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rek-
Tum, kandung kemih
Gangguan kebutuhan oksigen gangguan rasa nyaman nyeri nyeri terus,
Dan potensial komplikasi
Hipotensi, bradikardia gangguan eliminasi


3. Data fokus.
Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat

Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus hilang
Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri.

Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL

Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis.

Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.

Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
Keamanan : suhu yang naik turun

4. Pemeriksaan diagnostik
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

5. Diagnosa keperawatan
5.1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 lbh dr 80, PaCo2 rr =" 16-20"
Intervensi keperawatan :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan

5.2 Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.

Intervensi keperawatan :
1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.

5.3 Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang

Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.

5.4 Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali

Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus

5.5 Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada

Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine

5.6 Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan kulit
3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.

Daftar kepustakaan :

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.

Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.

Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

Asuhan Keperawatan Gastroenteritis (Diare)

ASUHAN KEPERAWATAN GASTROENTERITIS
(DIARE)

I. KONSEP DASAR

A. Pengertian
Diare adalah pengeluaran tinja yang tidak normal atau cair (Hipocrates)
Diare adalah buang air besar yang tida nomral dan cair, dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (Neonatus > 4 kali dan bayi-anak > 3 kali dalam sehari) (Lab IKA FKUI, 1988).

B. Etiologi
Penyebab diare (Lab IKA FKUA, 1984)
1. Infeksi
a. Infeksi enteral :
Bakteri : Vibrio, entamoeba coli, salmonella, shigela
Virus : enterovorus, adenovirus, rotavirus, asatrovirus
Parasit : cacing, protozoa, jamur
b. Infeksi parenteral
Infeksi dibagian tubuh lain di luar alat pencernaan ( ISPA, saluran kemih dan OMA)
2. Malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat (intoleransi laktosa)
b. Malabsorbsi protein
c. Malabsorbsi lemak
3. Faktor makanan
4. Faktor psikologis
C. Patofisiologi ( Lab IKA FKUI 1988 dan Lab IKA FKUA 1984)

Faktor penyebab :
- Infeksi enteral
* Bakteri
* Virus
* Parasit
- Infeksi parenteral Faktor penyebab :
- Faktor malabsorbsi
- Faktor makanan
- Faktor psikologis



II. PENGKAJIAN
A. Identitas
Diare akut lebih sering terjadi pada bayi dari pada anak, frekuensi diare untuk neonatus > 4 kali/hari sedangkan untuk anak > 3 kali/hari dalam sehari. Status ekonomi yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya diare pada nak ditinjau dari pola makan, kebersihan dan perawatan. Tingkat pengetahuan perlu dikaji untuk mengetahui tingkat perlaku kesehatan dan komunikasi dalam pengumpulan data melalui wawancara atau interview. Alamat berhubungan dengan epidemiologi (tempat, waktu dan orang) ( Lab. FKUI, 1988).

B. Keluhan utama
Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit. Manifestasi klnis berupa BAB yang tidaknomral/cair lebih banyak dari biasanya (LAN IKA, FKUA, 1984)

C. Riwayat Penyakit Sekarang
Paliatif, apakah yang menyebabkan gejala diare dan apa yang telah dilakukan. Diare dapat disebabkan oleh karena infeksi, malabsorbsi, faktor makanan dan faktor psikologis.
Kuatitatif, gejala yang dirasakan akibat diare bisanya berak lebih dari 3 kali dalam sehari dengan atau tanpa darah atau lendir, mules, muntak. Kualitas, Bab konsistensi, awitan, badan terasa lemah, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari .
Regonal,perut teras mules, anus terasa basah.
Skala/keparahan, kondisi lemah dapat menurunkan daya tahan tubuh dan aktivitas sehari-hari.
Timing, gejala diare ini dapat terjadi secara mendadak yang terjadi karena infeksi atau faktor lain, lamanya untuk diare akut 3-5 hari, diare berkepanjangan > 7 hari dan Diare kronis > 14 hari (Lab IKA FKUA, 1984)

D. Riwayat Penyakit sebelumnya
Infeksi parenteral seperti ISPA, Infeksi Saluran kemih, OMA (Otitis Media Acut) merupakan faktor predisposisi terjadinya diare (Lab IKA FKUA, 1984)

E. Riwayat Prenatal, Natal dan Postnatal
1. Prenatal
Pengaruh konsumsi jamu-jamuan terutamma pada kehamilan semester pertama, penyakti selama kehamilan yang menyertai seperti TORCH, DM, Hipertiroid yang dapat mempengaruhi pertunbuhan dan perkembangan janin di dalam rahim.
2. Natal
Umur kehamilan, persalinan dengan bantuan alat yangdapat mempengaruhi fungsi dan maturitas organ vital .
3. Post Natal
Apgar skor <>

F. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan menjadi bahan pertimbangan yang penting karena setiap individu mempunyai ciri-ciri struktur dan fungsi yang berbeda, sehingga pendekatan pengkajian fisik dan tindakan haruys disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan (Robert Priharjo, 1995)

G. Riwayat Kesehatan Keluarga
1. Penyakit
Apakah ada anggota keluarga yangmenderita diare atau tetangga yang berhubungan dengan distribusi penularan.
2. Lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan yang kotor dan kumuh serta personal hygiene yang kurang mudah terkena kuma penyebab diare.
3. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
BAB yang tidak pada tempat (sembarang)/ di sungai dan cara bermain anak yangkurang higienis dapat mempermudah masuknya kuman lewat Fecal-oral.
4. Persepsi keluarga
Kondisi lemah dan mencret yang berlebihan perlu suatu keputusan untuk penangan awal atau lanjutan ini bergantung pada tingkat pengetahuan dan penglaman yang dimiliki oleh anggota keluarga (orang tua).


H. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola Nutrisi
Makanan yang terinfeksi, pengelolaan yang kurang hygiene berpengaruh terjadinya diare, sehingga status gizi dapat berubah ringan samapai jelek dan dapat terjadi hipoglikemia. Kehilangan Berat Badan dapat dimanifestasikan tahap-tahap dehidrasi. Dietik pada anak <> 1tahun dengan Berat badan 1 tahun dengan BB > 7 kg dapat diberikan makananpadat atau makanan cair.
2. Pola eliminasi
BAB (frekuensi, banyak, warna dan bau) atau tanpa lendir, darah dapat mendukung secara makroskopis terhadap kuman penyebab dan cara penangana lebih lanjut. BAK perlu dikaji untuk output terhadap kehilangan cairan lewat urine.
3. Pola istirahat
Pada bayi, anak dengan diare kebutuhan istirahat dapat terganggu karena frekuensi diare yang berlebihan, sehingga menjadi rewel.
4. Pola aktivitas
Klien nampak lemah, gelisah sehingga perlu bantuan sekunder untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

I. Pemeriksaan Fisik (Robert Priharjo, 1995).
1. Sistem Neurologi,
Subyektif, klien tidak sadar, kadang-kadang disertai kejang.
Inspeksi, Keadaan umum klien yang diamati mulai pertama kali bertemu dengan klien. Keadaan sakit diamati apakah berat, sedang, ringan atau tidak tampak sakit. Keadaran diamati komposmentis, apatis, samnolen, delirium, stupor dan koma.
Palpasi, adakah parese, anestesia,
Perkusi, refleks fisiologis dan refleks patologis.

2. Sistem Penginderaan
Subyektif, klien merasa haus, mata berkunang-kunang,
Inspeksi :
Kepala, kesemitiras muka, cephal hematoma (-), caput sucedum (-), warna dan distibusi rambut serta kondisi kulit kepala kering, pada neonatus dan bayi ubun-ubun besar tampak cekung.
Mata, Amati mata conjunctiva adakah anemis, sklera adakah icterus. Reflek mata dan pupil terhadap cahaya, isokor, miosis atau midriasis. Pada keadaan diare yang lebih lanjut atau syok hipovolumia reflek pupil (-), mata cowong.
Hidung, pada klien dengan dehidrasi berat dapat menimbulkan asidosis metabolik sehingga kompensasinya adalah alkalosis respiratorik untuk mengeluarkan CO2 dan mengambil O2,nampak adanya pernafasan cuping hidung.
Telinga, adakah infeksi telinga (OMA, OMP) berpengaruh pada kemungkinaninfeksi parenteal yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya diare (Lab. IKA FKUA, 1984)
Palpasi,
Kepala, Ubun-ubun besar cekung, kulit kepala kering, sedangkan untuk anak-anak ubun-ubun besar sudah menutup maximal umur 2 tahun. Mata, tekanan bola mata dapat menurun,
Telinga, nyeri tekan, mastoiditis.

3. Sistem Integumen
Subyektif, kulit kering
Inspeksi , kulit kering, sekresi sedikit, selaput mokosa kering
Palpasi, tidak berkeringat, turgor kulit (kekenyalan kulit kembali dalam 1 detik = dehidrasi ringan, 1-2 detik = dehidrasi sedang dan > 2 detik = dehidrasi berat (Lab IKA FKUI, 1988).

4. Sistem Kardiovaskuler
Subyektif, badan terasa panas tetapi bagian tangan dan kaki terasa dingin
Inspeksi, pucat, tekanan vena jugularis menurun, pulasisi ictus cordis (-), adakah pembesaran jantung, suhu tubuh meningkat.
Palpasi, suhu akral dingin karena perfusi jaringan menurun, heart rate meningkat karena casodilatasi pemuluh darah, tahanan perifer menurun sehingga cardiac output meningkat. Kaji frekuensi, irama dan kekuatan nadi.
Perkusi, normal redup, ukuran dan bentuk jantung secara kasar pada kausus diare akut masih dalam batas normal (batas kiri umumnya tidak lebih dari 4-7 dan 10 cm ke arah kiri dari garis midsternal pada ruang interkostalis ke 4,5 dan 8.
Auskultasi, pada dehidrasiberat dapat terjadi gangguansirkulasi, auskulatasi bunyi jantung S1, S2, murmur atau bunyi tambahan lainnya. Kaji tekanan darah.

5. Sistem Pernafasan
Subyektif, sesak atau tidak
Inspeksi, bentuk simetris, ekspansi , retraksi interkostal atau subcostal. Kaji frekuensi, irama dan tingkat kedalaman pernafasan, adakah penumpukan sekresi, stridor pernafas inspirasi atau ekspirasi.
Palpasi, kajik adanya massa, nyeri tekan , kesemitrisan ekspansi, tacti vremitus (-).
Auskultasi, dengan menggunakan stetoskop kaji suara nafas vesikuler, intensitas, nada dan durasi. Adakah ronchi, wheezing untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta seperti broncho pnemonia atau infeksi lainnya.

6. Sistem Pencernaan
Subyektif, Kelaparan, haus
Inspeksi, BAB, konsistensi (cair, padat, lembek), frekuensilebih dari 3 kali dalam sehari, adakah bau, disertai lendi atau darah. Kontur permukaan kulit menurun, retraksi (-) dankesemitrisan abdomen.
Auskultasi, Bising usus (dengan menggunakan diafragma stetoskope), peristaltik usus meningkat (gurgling) > 5-20 detik dengan durasi 1 detik.
Perkusi, mendengar aanya gas, cairan atau massa (-), hepar dan lien tidak membesar suara tymphani.
Palpasi, adakahnyueri tekan, superfisial pemuluh darah, massa (-). Hepar dan lien tidak teraba.

7. Sistem Perkemihan
Subyektif, kencing sedikit lain dari biasanya
Inspeksi, testis positif pada jenis kelamin laki-laki, apak labio mayor menutupi labio minor, pemebsaran scrotum (-), rambut(-). BAK frekuensi, warna dan bau serta cara pengeluaran kencing spontan atau mengunakan alat. Observasi output tiap 24 jam atau sesuai ketentuan.
Palpasi, adakah pemebsaran scrotum,infeksi testis atau femosis.

8. Sistem Muskuloskletal
Subyektif, lemah
Inspeksi, klien tampak lemah, aktivitas menurun
Palpasi, hipotoni, kulit kering , elastisitas menurun. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan , kekuatan otot.

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (Lab IKA FKUI, 1988)
a. Faeces lengkap
Makroskopis dan mikroskopis (bakteri (+) mis. E. Coli)
PH dan kadar gula
Biakan dan uji resistensi
b. Pemeriksaan Asam Basa
Analisa Baood Gas Darah dapat menimbulkan Asidosis metabolik dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
c. Pemeriksaan kadar ureum kreatinin
Untuk mengetahui faali ginjal
d. Serum elektrolit (Na, K, Ca dan Fosfor)
Pada diare dapat terjadi hiponatremia, hipokalsemia yang memungkinkan terjadi penuruna kesadaran dan kejang.
e. Pemeriksaan intubasi duedenum
Terutama untuk diare kronik dapat dideteksi jasad renik atau parasit secara kualitatif dan kuantitatif.

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan kalau ada penyulit atau penyakit penyerta seperti bronchopnemonia dll seperti foto thorax AP/PA Lateral.

K. Penatalaksanaan (Lab IKA FKUI, 1988 dan FKUA, 1984)
1. Rehidrasi
a. Jenis cairan
- cara rehidrasi oral :
Formula lengkap (NaCl, NaHCO3, KCl dan Glukosa) seperti oralit,pedyalit setiap kali diare.
Formula sederhana (NaCl dan Sukrosa/KH lain) seperti LGG, tajin
- cairan parenteral :
usia 0-2 hari dengan BB 2500 (aterm) D10%.
Usia 2 hari-3 bulan d100,18 NS
Usia 3 bulan- 3 tahun D51/4 NS
Usia > 3 tahun D51/2NS
HSD (Half Strength Darrow) D1/2 2,5 NS cairan khusus untuk diare > usia 3 bulan.
b. Jalan pemberian
- Oral (dehidrasi ringan, sedang dan tanpa dehidrasi, anak mau minum serta kesadaran baik)
- Intragastrik (dehidrasi ringan, sedang, tanpa dehidrasi, anak tidak mau makan dan kesadaran menurun).
- IV line bila dehidrasi berat
c. Jumlah cairan
Jumlah cairan yang diberikan tergantung pada :
- Defisit (derajat dehidrasi)
- Kehilangan sesaat (concurent loss)
- Rumatan (maintenance)
d. Jadual/kecepatan
Jadual atau kecepatan pemeberian cairan tergantung pada tingkat dehidrasi dan umur. Untuk defisit diberikan 3 jampertama dan dilanjutkan maintenance.

2. Obat-obatan
a. Obat anti sekresi
- Asetosal, 25 mg/hr dengan dosisminimal 30 mg
- Klorpromasin, 0,5-1 mg/ kg BB/hr
b. Obat antispasmotilitik
Papaverin, opium. loperamid
c. Antibiotik
- Penyebab jelas
- Ada penyakit penyerta

3. Dietetik
a. Anak 1 tahun denga BB
- Susu ASI/ susu formula dengan laktosa rendah
- Makanan setengah padat (bubur susu), makana padat
b. Umur > 1 tahun dengan BB > 7 kg
Makanan padat/ maknan cair/susu
c. Dalam keadaan malabsorbsi berat serta allergi protein susu sapi dapat diberikan elemental/semi elemental formula.
4. Supportif
a. Vitamin A 200.000 iu IM usia
b. Vitamin A 100.000 iu IM usia 1-5 tahun
c. Vitamin A 5000 iu usia > 5 tahun
d. Vitamin A 2.500 iu po usia
e. Vitamin A 5.000 iu po usia > 1 tahun
f. Vitamin B kompleks, vit C

Rencana Asuhan Keperawatan
I. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan sekunder terhadap diare.
Tujuan : Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan secara optimal.
Kriteria :
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Tanda-tanda dehidrasi (-), turgor kulit elastis, membran mukosa basah, haluaran urine terkontrol, mata tidak cowong dan ubun-ubun besar tidak cekung.
Konsistensi BAB liat/lembek dan frekuensi 1 kali dalam sehari
Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit BJ urine 1,008-1,010; BUN dalam batas normal.
BGA dalam batas normal

Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan (dehidrasi)
R/ Penurunan volume cairan bersirkulasi menyebabkan kekeringan jaringan dan pemekatan urine. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit.
2. Pantau intake dan out put
R/ Haluaran dapat melebihi masukan, yang sebelumnya tidak mencukupi untuk mengkompensasi kehilangan cairan. Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat haluaran tak adeguat untuk membersihkan sesa metabolisme.
3. Timbang BB setiap hari.
R/ Penimbangan BB harian yang tepat dapat mendeteksi kehilangan cairan.
4. Penatalaksanaan rehidrasi :
a. Anjurkan keluarga bersama klien untuk meinum yang banyak (LGG, oralit atau pedyalit 10 cc/kg BB/mencret.
R/ Kandungan Na, K dan glukosa dalam LGG, oralit dan pedyalit mengandung elektrolit sebagai ganti cairan yang hilang secara peroral. Bula menyebarkan gelombang udara dan mengurangi distensi.
b. Pemberian cairan parenteral (IV line) sesuai dengan umur dan penyulit (penyakit penyerta).
R/ Klien yang tidak sadar atau tingkat dehidrasi ringan dan sedang yang kurang intakenya atau dehidrasi berat perlu pemeberian cairan cepat melalui IV line sebai pengganti cairan yang telah hilang.
5. Kolaborasi :
a. Pemeriksaan serum elektrolit (Na, K dan Ca serta BUN)
R/ Serum elektrolit sebagai koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit. BUN untuk mengetahui faali ginjal (kompensasi).
b. Obat-obatan (antisekresi, antispasmolitik dan antibiotik)
R/ Antisekresi berfungsi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit untuk keseimbangannya. Antispasmolitik berfungsi untuk proses absrobsi normal. Antibiotik sebagai antibakteri berspektrum luas untuk menghambat endoktoksin.

II. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan diare
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
Nafsu makan baik
BB ideal sesuai dengan umur dan kondisi tubuh
Hasil pemeriksaan laborat protein dalam batas normal (3-5 mg/dalam)
Intervensi :
1. Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan yang berserat tinggi, berlemak dan air panas atau dingin)
R/ Makanan ini dapat merangsang atau mengiritasi saluran usus.
2. Timbang BB setiap hari
R/ Perubahan berat badan yang menurun menggambarkan peningkatan kebutuhan kalori, protein dan vitamin.
3. Ciptakan lingkungan yang menyenagkan selama waktu makan dan bantu sesuai dengan kebutuhan.
R/ Nafsu makan dapat dirangsang pada situasi releks dan menyenangkan.
4. Diskusikan dan jelaskan tentang pentingnya makanan yang sesuai dengan kesehatan dan peningkatan daya tahan tubuh.
R/ Makanan sebagai bahan yang dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme dan katabolisme serta peningkatan daya tahan tubuh terutama dalam keadaan sakit. Penjelasan yang diterima dapat membuka jalan pikiran untuk mencoba dan melaksanakan apa yang diketahuinya.
5. Kolaborasi :
a. Dietetik
- anak , 1 tahun/> 1 tahun dengan BB
R/ Pada diare dengan usus yang terinfeksi enzim laktose inaktif sehingga intoleransi laktose.
- Umur > 1 tahun dengan BB > 7 kg diberi makan susu/cair dan padat
R/ Makanan cukup gizi dan disesuaikan dengan kondisi kesehatan.

b. Rehidrasi parenteral (IV line)
R/ Klien yang tidak sadar atau tingkat dehidrasi ringan dan sedang yang kurang intakenya atau dehidrasi berat perlu pemeberian cairan cepat melalui IV line sebai pengganti cairan yang telah hilang.
c. Supporatif (pemberian vitamin A)
R/ Vitamin merupakan bagian dari kandungan zat gizi yang diperlukan tubuh terutama pada bayi untuk proses pertumbuhan.

I. Risiko injuri kulit (area perianal) berhubungan dengan peningkatan frekuensi diare
Tujuan : Injuri kulit tidak terjadi
Kriteria :
Integritas kulit utuh
Iritasi tidak terjadi
Kulittidak hiperemia,atau iscemia
Kebersihan peranal terjaga dan tetap bersih
Keluarga dapat mendemonstrasikan dan melakasnakan perawatan perianal dengan baik dan benar

Intervensi :
1. Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga kebersihan di tempat tidur .
R/ Kebersihan mencegah aktivitas kuman. Informasi yang adeguat melalui metode diskusi dapat memberikan gambaran tentang pentingnya kebersihan dan keadaran partisipasi dalam peningkatan kesehatan.
2. Libatkan dan demonstrasikan cara perawatan perianal bila basah akibat diare atau kencing dengan mengeringkannya dan mengganti pakaian bawah. serta alasnya.
R/ Kooperatif dan partisipati sangat penting untuk peningkatan dan pencegahan untuk mencegah terjadinya disintegrasi kulit yang tidak diharapkan.
3. Menganjurkan keluarga untuk mengganti pakaian bawah yang basah.
R/ Kelembaban dan keasaman faeces merupakan faktor pencetus timbulnya iritasi. Untuk itu pengertian akan mendorong keluarga untuk mengatasi masalah tersebut.
4. Lindungi area perianal dari irtasi dengan pemeberian lotion.
R/ Sering BAB dengan peningkatan keasaman dapat dikurangi dengan menjaga kebersihan dan pemberian lotion dari iritasi.
5. Atur posisi klien selang 2-3 jam.
R/ Posisi yang bergantian berpengaruh pada proses vaskularisasi lancar dan mengurangi penekanan yang lama, sehingga mencegah ischemia dan iritasi.

Asuhan Keperawatan Effusi Pleura Akibat Malignancy

ASUHAN KEPERAWATAN EFFUSI PLEURA AKIBAT MALIGNANCY

a. Pengertian
Effusi Pleura adalah : Kumpulan cairan dalam rongga pleura yaitu anatara pleura parietalis dan pleura viceralis yang berupa cairan transudat atau eksudat (Lab UPF Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1994 : 3).

b. Faktor Penyebab
Menurut asalnya cairan yang terkumpul dalam rongga pleura ada dua yaitu : berasal dari paru sendiri yang disebut eksudat dan cairan yang berasal dari luar paru yang disebut transudat. Adapun penyebab adanya cairan eksudat antara lain :
a. Infeksi : Tuberkolosa Pneumonia
b. Tumor
c. Infark Paru
Sedangkan penyebab adanya cairan transudat antara lain :
a) Kegagalan jantung kognetif
b) Asites
c) Vena kava superior Syndrom
d) Tumor
c. Patofisiologi
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak mikrovili disekitar sel – sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm H2o. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru.
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli,terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya effusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan effusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang – kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500 – 2000. Mula – mula yang dominan adalah sel – sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan effusi sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan effusi bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya effusi pleura dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain : Irama pernapasan tidak teratur, frekwensi pernapasan meningkat , pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal – hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh effusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan berat badan menurun.
d. Diagnosis
1. Klinis.
Cairan pleura yang kurang dari 300 cc tidak meberi tanda – tanda fisik yang nyata. Bila lebih dari 500 cc akan memberikan kelainan pada pemeriksaan fisik seperti penurunan pergerakan hemithoraks yang sakit, fremitus suara dan suara napas melemah.. Cairan pleura yang lebih dari 1000 cc dapat menyebabkan dada cembung dan egofoni (dengan syarat cairan tidak memenuhi seluruh rongga pleura). Cairan yang lebih dari 2000 cc : Suara napas melemah atau menurun (mungkin menghilang sama sekali) dan mediastinum terdorong ke arah paru yang sehat.
2. Radiologi
Cairan yang kurang dari 300 cc, pada fluoskopi maupun foto thoraks PA tidak tampak. Mungkin kelainan yang nampak hanya berupa penumpukan sinus kontofrenikus. Pada effusi pleura subpulmonal , meskipun cairan pleura lebih dari 300 cc, sinus kontofrenikus tidak tampat tumpul tetapi diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikan dapat dilakukan dengan membuat foto dada lateral dari sisi dada yang sakit.
Foto thoraks PA dan possi lateral dekubitus pada sisi yang sakit sering memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit, atau cairan subpulmonal yaitu nampak garis batas cairan yang sejajar dengan kolumna vertebralis atau berupa garis horisontal.

e. Pengelolaan
Pengelolaan efusi pleuran ditujuhkan pada pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan (Torasentesis)
Indikasi untuk melakukan torasentesis adalah :
a. Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga plera.
b. Bila therapi spesifik pada penyakit prmer tidak efektif atau gagal.
c. Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura jangan lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan oedema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak.
Kerugian :
a. Tindakan thoraksentesis menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura.
b. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura.
c. Dapat terjadi pneumothoraks.

: Dari gejala kardinal dapat di ketahui gambaran keadaan umum klien.

\ ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
b. Riwayat Keperawatan
Keluhan utama : Adanya sesak napas yang dirasakan semakin berat disamping itu disertai nyeri dada yang semakin berat saat inspirasi dan saat miring ke sisi yang sakit.
c. Riwayat Penyakit sekarang.
Adanya demam yang menyerupai influenza yang timbulnya berulang, batuk lebih dari 2 minggu yang sifatnya non produktif, Nafsu makan menurun, meriang, sesak napas dan nyeri dada.
d. Riwayat penyakit dahulu.
Perlu dikaji adanya riwat penyakit TBC paru, kegagalan jantung kongestif, pneumonia, infark paru, tumor paru.
e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Didapatkan penggunaan otot bantu pernapasan, cuping hidung melebar, iga melebar, rongga dada asimetris, cemmbung pada sisi yang sakit, pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit.
Palpasi : Pergerakan dada asimetris, fremitus raba melemah.
Perkusi : Suara redup pada posisi yang sakit dan nyeri ketok
Auskultasi : Adanya suara tambahan,suara egofoni, suara pernapasan melemah pada posisi yang sakit.

f. Kebutuhan sehari – hari
Kebutuhan Nutrisi : Pada pola nutrisi akan ditemukan : nafsu makan menurun yang diakibatkan oleh toksemia dan pada observasi ditemukan klien kurus, berat badan tidak ideal, jaringan lemak tipis dan iga kelihatan.
Kebutuhan istirahat dan tidur : Klien dengan sesak dan nyeri kemungkinan akan mengalami gangguan dalam pola tidur dan istirahat. Oleh karena itu perlu dikaji lamanya istirahat dan tidur, kebiasaan sebelum tidur, posisi tidur, sclera mata, apatis, kurang perhatian dan kurang respon.
Kebutuhan aktivitas : Klien dengan nyeri dada dan sesak mengalami gangguan aktivitas / keterbatasan dalam aktivitas. Terutama dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari ( ADL)
g. Pola Persepsi : Perlu di kaji tentang pandangan klien terhadap dirinyaserta pandangan klien terhadap penyakit yang diderita.

II. Diagnosa keperawatan:
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1. Ketidakefektifan pernapasan sehubungan dengan expansi paru yang menurun.
2. Gangguan rasa nyaman : Nyeri sehubungan dengan penumpukan cairan pada rongga pleura.
3. Gangguan nutrisi ; Kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan tidak adekuatnya asupan nutrisi.
4. Gangguan Istirahat dan tidur sehubungan dengan sesak napas dan nyeri.
5. Gangguan aktivitas sehubungan dengan sesak napas dan nyeri.
6. Cemas sehubungan dengan kurang pengetahuan.

III. Perencanaan
a. Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan pernapasan sehubngan dengan adanya penurunan ekspansi paru (Penumpukan cairan dalam rongga pleura)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakkan keperawatan diharapakn pernapasan efektif kembali
Kriteria : Tidak mengeluh sesak napas, RR 20 – 24 X/menit. Hasil Lab BGA Normal
Intervensi :
1) Pertahankan Posisi semi fowler.
Rasional : Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya penekanan isi perut terhadap diafragma sehingga meningkatkan ruangan untuk ekspansi paru yang maksimal. Disamping itu posisi ini juga mengurangi peningkatan volume darah paru sehingga memperluas ruangan yang dapat diisi oleh udara.
2) Observasi gejala kardinal dan monitor tanda – tanda ketidakefektifan jalan napas.
Rasional : Pemantau lebih dini terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat dimabil tindakkan penanganan segera.
3) Berikan penjelasan tentang penyebab sesak dan motivasi utuk membatasi aktivitas.
Rasional : Pengertian Klien akan mengundang partispasi klien dalam mengatasi permahsalahan yang terjadi.
4) Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam aspirasi caian pleura (Puctie pleura / WSD), Pemberian Oksigen dan Pemeriksaan Gas darah.
Rasional : Puctie Pleura / WSD mengurangi cairan dalam rongga pleura sehingga tekanan dalan rongga pleura berkurang sehingga eskpasi paru dapat maksimal.

b. Diagnosa keperawatan : Gangaguan rasa nyaman nyeri dada sehubungan dengan adanya penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakkan keperawatan diharapakn nyeri dapat berkurang atau Pasien bebas dari nyeri.
Kriteria : Tidak mengeluh nyeri dada, tidak meringis, Nadi 70 – 80 x/menit.
Intervensi :
1) Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik.
Rasional : Analgesik bekerja mengurangi reseptor nyeri dalam mencapai sistim saraf sentral.

2) Atur posisi klien yang enak sesuai dengan keadaan yaituy miring ke sisi yahg sakit.
Rasional : Dengan posisi miring ke sisi yang sehat disesuaikan dengan gaya gravitasi,maka dengan miring kesisi yang sehat maka terjadi pengurangan penekanan sisi yang sakit.
3) Awasi respon emosional klien terhadap proses nyeri.
Rasional : Keadaan emosional mempunyai dampak pada kemampuan klien untuk menangani nyeri.
4) Ajarkan teknik pengurangan nyeri dengan teknik distraksi.
Rasional : Teknik distrasi merupakan teknik pengalihan perhatian sehingga mengurangi emosional dan kognitif.
5) Oservasi gejala kardinal
Rasional

c. Diagnosa keperawatan: Gangguan nutrisi : Kurang dari kebutuhan sehubungan dengan tidak adekuatnya asupan nutrisi.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpeniuhi.
Kriteria : Kriteria berat badan naik, klien mau mengkonsumsi makanan yang di sediakan.
Intervensi :
1) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin.
Rasional : Dengan pemberian vitamin membantu proses metabolisme, mempertahankan fungsi berbagai jaringan dan membantu pembentukan sel baru.
2) Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh dan diit yang di tentukan dan tanyakan kembali apa yang telah di jelaskan.
Rasional : Pengertian klien tentang nutrisi mendorong klien untuk mengkonsumsi makanan sesuai diit yang ditentukan dan umpan balik klien tentang penjelasan merupakan tolak ukur penahanan klien tentang nutrisi
3) Bantu klien dan keluarga mengidentifikasi dan memilih makanan yang mengandung kalori dan protein tinggi.
Rasional : Dengan mengidentifikasi berbagai jenis makanan yang telah di tentukan.
4) Identifikasi busana klien buat padan yang ideal dan tentukan kenaikan berat badan yang diinginkan berat badan ideal.
Rasional : Diharapkan klien kooperatif.
5) Sajikan makanan dalam keadaan menarik dan hangat.
Rasional : Dengan penyajian yang menarik diharapkan dapat meningkatkan selera makan.
6) Anjurkan pada klien untuk menjaga kebersihan mulut.
Rasional : Dengan kebersihan mulut menghindari rasa mual sehingga diharapkan menambah rasa.
7) Monitor kenaikan berat badan
Rasional : dengan monitor berat badan merupakan sarana untuk mengetahui perkembangan asupan nutrisi klien.

d. Diagnosa keperawatan : Gangguan istirahat tidur sehubngan dengan sesak dan nyeri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakkan perawatan diharapakn tidur terpenuhi sesuai kebutuhan
Kriteria : klien mengatakan sudah dapat tidur.
Intervensi :
1) Lakukan koliborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen dan analgesik
Rasional : dengan penambahan sublay O2 diharapkan sesak nafas berkurang sehingga klen dapat istirahat.
2) Beri suasana yang nyaman pada klien dan beri posisi yang menyenangkan yaitu kepala lebih tinggi:
Rasional: Suasana yang nyaman mengurangi rangsangan ketegangan dan sangat membantu untuk bersantai dan dengan posisi lebih tinggi diharapkan membantu paru – paru untuk melakukan ekspansi optimal.
3) Berikan penjelasan terhadao klien pentingnya istirahat tidur.
Rasional : dengan penjelasan diharapkan klien termotivasi untuk memenuhi kebutuhan istirahat secara berlebihan.
4) Tingkat relaksasi menjelang tidur.
Rasional : Diharapkan dapat mengurangi ketegangan otot dan pikiran lebih tenang.
5) Bantu klien untuk melakukan kebiasaannya menjelang tidur.
Rasional : Dengan tetap tidak mengubah pola kebiasaan klien mempermudah klien untuk beradaptasi dengan lingkungan.

e. Diagnosa keperawatan : Gangguan aktifitas sehubungan dengan sesak dan nyeri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakkan perawatan diharapkan klien dapat melakukan aktivtas dengan bebas.
Kriteria : Klien dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Intervensi :
1) Bimbing klien melakukan mobilisasi secara bertahap.
Rasional : Dengan latihan secara bertahap klien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
2) Latih klien dalam memenuhi kebutuhan dirinya.
Rasonal : Diharapkan ada upaya menuju kemandirian.
3) Ajarkan pada klien menggunakan relaksasi yang merupakan salah satu teknik pengurangan nyeri.
Rasional : Pengendalian nyeri merupakan pertahanan otot dan persendian dengan optimal.
4) Jelaskan tujuan aktifitas ringan.
Rasional : Dengan penjelasan diharapkan klien kooperatif.
5) Observasi reaksi nyeri dan sesak saat melakukan aktifitas.
Rasional : Dengan mobilisasi terjadi penarikan otot, hal ini dapat meningkatkan rasa nyeri.
6) Anjurkan klien untuk mentaati terapi yang diberikan.
Rasional : Diharapkan klien dapat kooperatif.
Diagnosa Keperawatan : Cemas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan cemas berkurang.
Kriteia : Klien tenang, klien mampu bersosialisasi.
Intervensi :
1. Berikan dorongan pada klien untuk mendiskusikan perasaannya mengemukakan persepsinya tentang kecemasannya.
Rasional : Membantu klien dalam memperoleh kesadaran dan memahami keadaan diri yang sebenarnya.
2. Jelaskan pada klien setiap melakukan prosedur baik keperawatan maupun tindakan medis.
Rasional : Dengan penjelasan diharapkan klien kooperatif dan mengurangi kecemasan klien
3. Kolaborasi dengan dokter untuk penjelasan tentang penyakitnya.
Rasional : Dengan penjelasan dari petugas kesehatan akan menambah kepercayaan terhadap apa yang dijelaskan sehingga cemas klien berkurang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN.

LAB/UPF Ilmu Penyakit Paru FK. Unair. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 1994 Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Marilyn E. Doenges, Merry Frances Mourhouse, Allice C. Glisser. 1986. Nursing Care Planning Gidelines For Planning Patient care. Second Edition.Philadelphia FA. Davis. Company.

Med Muhammad Amin DKK. 1993. Pengantar ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga.

Soeparman, Sarwono Maspadji 1990. Ilmu Penyakit Dalam II Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Asuhan Keperawatan Gagal Nafas (Bantuan Ventilasi Mekanik)

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GAGAL NAFAS
(BANTUAN VENTILASI MEKANIK)

A. PENGERTIAN
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis.
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.

B. PENYEBAB GAGAL NAFAS
1. Penyebab sentral
a. Trauma kepala : contusio cerebri
b. Radang otak : encephalitis
c. Gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak
d. Obat-obatan : narkotika, anestesi
2. Penyebab perifer
a. Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
b. Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
c. Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga/thoraks: fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks
e. Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
C. PATOFISIOLOGI
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif .
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thoraks paling positif.

Ventilator


Tekanan positif inspirasi

Darah ke jantung suplai ke otak vol tidal
Terhambat kurang tinggi

Darah ke atrium kiri Venous return b(-)
Berkurang TIK meningkat resiko
pneumotorak
cardiac output menurun
Hipotensi Ggn perfusi jaringan

Kompresi mikro vaskuler Kecemasan
Suplai darah ke paru b(-) Ggn oksigenasi

D. PEMERIKSAAN FISIK
( Menurut pengumpulan data dasar oleh Doengoes)

1. Sirkulasi
Tanda : Takikardia, irama ireguler
S3S4/Irama gallop
Daerah PMI bergeser ke daerah mediastinal
Hamman’s sign (bynui udara beriringan dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum)
TD : hipertensi/hipotensi
2. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
3. Pernapasan
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru , keganasan, “lapar udara”, batuk
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak seimbang, reduksi ekskursi thorak. Kulit : cyanosis, pucat, krepitasi sub kutan; mental: cemas, gelisah, bingung, stupor
4. Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi
5. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat faktor resiko keluarga dengan tuberkulosis, kanker
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

- Hb : dibawah 12 gr %
- Analisa gas darah :
pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
paO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
BE di bawah -2 atau di atas +2
- Saturasi O2 kurang dari 90 %
- Ro” : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan letak mediastinum

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan pernafasan ventilator mekanik adalah :
1.Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakit
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungandengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang ETT
4. Cemas berhubungan dengan penyakti kritis, takut terhadap kematian
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang ETT
6. Resiko tinggi komplikasi infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan selang ETT
7. Resiko tinggi sedera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas, stress
8. Nyeri berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik, letak selang ETT

G. RENCANA KEPERAWATAN

1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret

Tujuan : Klien akan memperlihatkan kemampuan meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan nafas

Kriteria hasil :
- Bunyi nafas bersih
- Ronchi (-)
- Tracheal tube bebas sumbatan



Intervensi Rasional
1.Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam atau bila diperlukan
2.Lakukan penghisapan bila terdengar ronchi dengan cara :
a.Jelaskan pada klien tentang tujuan dari tindakan penghisapan
b.Berikan oksigenasi dengan O2 100 % sebelum dilakukan penghisapan, minimal 4 – 5 x pernafasan
c.Perhatikan teknik aseptik, gunakan sarung tangan steril, kateter penghisap steril
d.Masukkan kateter ke dalam selang ETT dalam keadaan tidak menghisap, lama penghisapan tidak lebih 10 detik
e.Atur tekana penghisap tidak lebih 100-120 mmHg
f.Lakukan oksigenasi lagi dengan O2 100% sebelum melakukan penghisapan berikutnya
g.Lakukan penghisapan berulang-ulang sampai suara nafas bersih
3.Pertahankan suhu humidifier tetap hangat ( 35 – 37,8 C) Mengevaluasi keefektifan bersihan jalan nafas


Meningkatkan pengertian sehingga memudahkan klien berpartisipasi
Memberi cadangan oksigen untuk menghindari hypoxia

Mencegah infeksi nosokomial


Aspirasi lama dapat menyebabkan hypoksiakarena tindakan penghisapan akan mengeluarkan sekret dan oksigen
Tekana negatif yang berlebihan dapat merusak mukosa jalan nafas
Memberikan cadangan oksigen dalam paru


Menjamin kefektifan jalan nafas

Membantu mengencerkan sekret



2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan,proses penyakit, pengesetan ventilator yang tidak tepat

Tujuan : Klien akan memperlihatkan kemampuan pertukaran gas yang kembali normal

Kriteria hasil :
- Hasil analisa gas darah normal :
PH (7,35 – 7,45)
PO2 (80 – 100 mmHg)
PCO2 ( 35 – 45 mmHg)
BE ( -2 - +2)
- Tidak cyanosis

Intervensi Rasional
1.Cek analisa gas darah setiap 10 –30 mnt setelah perubahan setting ventilator
2.Monitor hasil analisa gas darah atau oksimetri selama periode penyapihan
3.Pertahankan jalan nafas bebas dari sekresi
4.Monitpr tanda dan gejala hipoksia Evaluasi keefektifan setting ventilator yang diberikan
Evaluasi kemampuan bernafas klien

Sekresi menghambat kelancaran udara nafas
Deteksi dini adanya kelainan


3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, peningkatan sekresi, obstruksi ETT

Tujuan : Klien akan mempertahankan pola nafas yang efektif

Kriteria hasil :
a. Nafas sesuai dengan irama ventilator
b. Volume nafas adekuat
c. Alarm tidak berbunyi
d.

Intervensi Rasional
1.Lakukan pemeriksaan ventilator tiap 1-2 jam
2.Evaluasi semua alarm dan tentukan penyebabnya
3.Pertahankan alat resusitasi manual (bag & mask) pada posisi tempat tidur sepanjang waktu
4.Monitor slang/cubbing ventilator dari terlepas, terlipat, bocor atau tersumbat
5.Evaluasi tekanan atau kebocoran balon cuff
6.Masukkan penahan gigi (pada pemasangan ETT lewat oral)
7.Amankan slang ETT dengan fiksasi yang baik
8.Monitor suara nafas dan pergerakan ada secara teratur Deteksi dini adanya kelainan atau gangguan fungsi ventilator
Bunyi alarm menunjukkan adanya gangguan fungsi ventilator
Mempermudah melakukan pertolongan bila sewaktu-waktu ada gangguan fungsi ventilator
Mencegah berkurangnya aliran udara nafas

Mencegah berkurangnya aliran udara nafas

Mencegah tergigitnya slang ETT

Mencegah terlepasnya.tercabutnya slang ETT
Evaluasi keefektifan pola nafas










I. DAFTAR PUSTAKA


Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta

Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC, Jakarta

Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia

Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I, Universitas Airlangga, Surabaya











Photobucket